Seiring dengan gencarnya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, keterlibatan lembaga keuangan baik perbankan dan non perbankan dalam pembangunan sangatlah penting. Namun, sangat disayangkan ketika pembangunan itu dijalankan di segala bidang, banyak terjadinya kerusakan-kerusakan lingkungan yang disebabkan efek dari pembangunan tesebut. Jika hal ini diteruskan pembangunan yang berkelanjutan sesuatu yang sangat mustahil bisa dijalankan. Untuk itu, perlu peninjauan kembali pembiayaan - pembiayaan pembangunan berbasis lembaga keuangan, agar mengacu pada pembangunan ramah terhadap lingkungan.
Dalam menjaga kelestarian lingkungan, selama ini pemerintah indonesia telah mengeluarkan undang-undang no 32 / 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yang antara lain mengatur kewajiban bagi industri untuk melindungi alam dan lingkungan. Dari undang - undang inilah, sejak tahun 2010 Bank Indonesia telah mendorong bank - bank komersial untuk memasukkan isu lingkungan kedalam praktik pengelolaan risiko. Para eksekutif bank diwajibkan untuk meningkatkan kesadaran mereka terhadap resiko kemungkinan terjadinya masalah lingkungan pada proyek yang dibiayainya yang mungkin berdampak negatif pada reputasi bank yang bersangkutan. Masalah lingkungan yang menimpa sebuah proyek bank dapat berpotensi mengganggu keselamatan bank itu sendiri.
Untuk mewujudkan pembiayaan ramah lingkungan tersebut, diperlukan kesadaran dan pemahaman bersama tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Untuk itu fairnnes, integrity, equality dan morality menjadi sebuah syarat jika ingin membangkitkan kesadaran manusia terhadap ekonomi yang arif terhadap lingkungan. Dalam melaksanakan ini semua tergantung pada dari sikap regulator dan masyarakat dalam memperjuangkan kaidah-kaidah tersebut. Apalagi konstitusi kita menjunjung tinggi nilai-nilai morality dan kemanusiaan, sudah sepantansnya jika pembangunan tersebut harus memiliki semangat ramah lingkungan sebagai perioritasnya. Disektor keuangan harus mengikutinya dengan pembiayaan ramah lingkungan.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso saat ditemui usai Mandiri Investasi Outlook 2018, di Jakarta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong munculnya inovasi pembiayaan yang ramah lingkungan hidup dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan menuju terciptanya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. "OJK mendorong terbentuknya sektor jasa keuangan yang lebih bertanggung jawab, transparan, dan berorientasi jangka panjang. Kemudian, untuk merespons kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan tersebut, pelaku jasa keuangan didorong untuk berinovasi, mengembangkan produk dan layanan jasa keuangan, baik yang berjangka pendek maupun panjang," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso saat membuka seminar "Peran Sektor Jasa Keuangan Terhadap Pengelolaan Hutan Lestari dan Peningkatan Ekspor Industri Pulp dan Kertas" di Jakarta, Selasa (27/2/2018).
Menurutnya, OJK selama ini sudah sangat peduli atas berbagai isu sosial dan lingkungan hidup, yang ditunjukkan dengan penerbitan Roadmap Keuangan Berkelanjutan sejak 2014 dan pada 2017 telah mengeluarkan dua peraturan terkait Keuangan berkelanjutan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan POJK Nomor 51 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi LJK, Emiten dan Perusahaan Publik, dan POJK Nomor 60 Tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond).
"Kedua POJK tersebut merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesadaran sektor jasa keuangan terhadap adanya risiko sosial, lingkungan hidup, dan tata kelola pada setiap proses bisnisnya. Di samping itu, mendorong perluasaan sumber pembiayaan atau investasi pembangunan berwawasan sosial dan lingkungan hidup dapat diupayakan melalui instrumen pembiayaan jangka panjang seperti green bond," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC) Dradjad H Wibowo menilai positif dan siap mendukung kebijakan OJK yang tertuang dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan.
“Sebagai tindak lanjut, OJK dan IFCC akan menyiapkan program pelatihan bagi lembaga jasa keuangan untuk mengenalkan potensi bisnis pulp dan kertas serta standar mutu di bidang tersebut sebagai bagian dari manajemen risiko lingkungan hidup dan sosial bagi lembaga jasa keuangan," katanya.
Untuk pendanaan berjangka panjang proyek-proyek yang ramah lingkungan, pemerintah telah menerapkannya dengan menerbitkan green sukuk senilai USD1,25 miliar atau kurang lebih Rp16,69 triliun.
"Kami berharap, hal ini segera diikuti dengan penerbitan corporate green bond baik dari lembaga jasa leuangan maupun korporasi," katanya.
Selama ini, sektor kehutanan bersama-sama dengan sektor pertanian, perkebunan berkontribusi cukup signifikan pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Pada 2017, sektor kehutanan berkontribusi sebesar 13,96%. Sebagai perbandingan, sektor industri pengolahan, pariwisata, infrastruktur, dan energi masing-masing berkontribusi sekitar 19,93%, 1,74%, 14,79%, dan 8,42%.
Salah satu jenis industri berbasis kehutanan yang mengalami perkembangan dan dapat memberikan kontribusi pada devisa negara adalah industri pulp dan kertas yang pada 2016 berkontribusi 6,7% dari total PDB industri pengolahan.
Sementara tahun 2017, industri pulp dan kertas menyumbang devisa negara nonmigas sekitar USD1,73 miliar dan USD3,57 miliar. Di samping itu, industri ini secara langsung dapat menyerap tenaga kerja sekitar 260 ribu orang dan sekitar 1,1 juta orang untuk tenaga kerja tidak langsung (Kemenperin, 2018).